Soal Sengketa Lahan Eks Kebun Binatang, Ernawati Yohanis Mohon Perlindungan Hukum ke Kapolri
By Admin
nusakini.com - Jakarta - Berbagai upaya dilakukan Ernawati Yohanis untuk mencari keadilan dalam kasus yang dinilainya sarat dengan ketidakadilan yang dilakukan penyidik Polda Sulsel. Di samping berkirim surat ke Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel, melalui kuasa hukumnya dari kantor advokat M. Rusli Bayong and Partners, Ernawati juga berkirim surat ke Kapolri untuk meminta perlindungan hukum atas kasus yang menimpanya.
Pasalnya, hingga saat ini, baik penasehat hukum Ernawati Yohanis, tersangka dan publik masih dibuat bingung dengan penetapan tersangka kliennya oleh penyidik Polda Sulsel yang menjerat Ernawati Yohanis dan Ahimsa Said dengan sangkaaan pasal 263 terkait Pemalsuan Sertifikat dan Penggunaan Sertifikat Palsu terhadap lahan eks Kebun Binatang Makassar, Sulsel.
"Baik tersangka, kami selaku penasehat hukum dan publik benar-benar dibuat bingung dengan pasal yang disangkakan oleh penyidik Polda Sulsel yang menjerat klien kami dengan pasal terkait pemalsuan sertifikat dan penggunaan serifikat palsu", ujar Muhammad Rusli, SH, dan Muh. Rusydi SH.
Karenanya, tim kuasa hukum Ernawati Yohanis dan Ahimsa Said melakukan upaya perlindungan hukum dengan berkirim surat ke Kapolri untuk memohon perhatiannya.
"Sebagai Penasihat Hukum kami perlu menyampaikan langsung beberapa hal yang menurut kami penting Bapak Kapolri ketahui dengan harapan bisa menjadi masukan terkait penetapan tersangka terhadap Klien kami", kata tim kuasa hukum Ernawati Yohanis dan Ahimsa Said dalam suratnya tertanggal 13 Juli 2022 seperti diterima redaksi.
Muhammad Rusli menjelaskan, banyak kejanggalan yang terjadi dengan penetapan tersangka oleh Polda Sulsel terhadap kliennya.
"Berawal ketika Ahimsa Said, ahli waris M. Said meminta tolong pada Ernawati Yohanis untuk mengurus tanah miliknya yang terletak di jln. Urip Sumoharjo Makassar atau yang lebih dikenal sebagai eks lahan Kebun Binatang seluas 5,9 hektar dengan No. Sertifikat 2412 atas nama M. Said. Ketika itu Ahimsa Said sangat berharap bantuan Ernawati Yohanis karena untuk mengurus tanah orang tuanya karena berbagai keterbatasan baik secara fisik karena usia serta sering sakit-sakitan, pengetahuan mengenai seluk beluk urusan pertanahan yang minim maupun keterbatasan finansial. Atas pertimbangan kemanusiaan Ernawati Yohanis memutuskan membantu ahli waris M. Said tersebut", paparnya.
Berbekal surat kuasa mengurus dari Ahimsa Said, ahli waris M. Said, tambah Muh. Rusli, Ernawati Yohanis mengajukan permohonan pengecekan Sertifikat 2412 untuk mengetahui status atau otentisitas sertifikat tersebut ke BPN baik dilakukan sendiri maupun melalui jasa notaris. Semua upaya yang dilakukan Ernawati Yohanis tidak pernah memperoleh respon positif atau jawaban resmi dari BPN.
"Bahkan menurut Ernawati Yohanis dirinya menerima jawaban menyakitkan seperti, "Dari mana ibu Erna dapat sertifikat itu," kata pegawai BPN. Atau, "ibu Erna gunting-gunting saja sertifikat itu tidak ada gunanya, "kata Kepala Kantor BPN yang menjabat saat itu", katanya.
Muh. Rusli pun memberi penjelasan dalam suratnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel terkait riwayat Sertifikat No. 2412 atas nama M. Said bahwa Sertifikat No. 2412 atas nama M. Said dengan luas 5,9 hektar yang terbit Tahun 1984 berlokasi di eks lahan Kebun Binatang berasal dari tanah negara eks eigendom verponding yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria di bawah Kementerian Dalam Negeri karena BPN baru berdiri berdasarkan SK Presiden No. 26/1988. Berdasarkan penjelasan UUPA Tahun 1960 Pasal 19: "Bahwa untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dalam kepemilikan tanahnya dibuka pendaftaran di seluruh Indonesia".
"Sebagai warga negara yang baik M. Said telah menunjukkan kepatuhannya terhadap undang-undang dengan cara mendaftarkan tanah tersebut dengan No. Pendaftaran 21559. Jadi proses penerbitan Sertifikat 2412 sesuai dengan peraturan perundang-undangan bahkan M. Said termasuk warga negara yang baik dan taat hukum karena mendaftarkan tanahnya sesuai perintah undang-undang yakni UUPA Agraria Tahun 1960 yang hingga saat ini masih berlaku", katanya.
"Bahwa yang mengherankan bagi kami dan juga publik adalah bagaimana bisa Ernawati Yohanis ditersangkakan melakukan tindak pidana pemalsuan atau menggunakan sertifikat palsu padahal Ernawati Yohanis tidak terlibat dalam penerbitan Sertifikat 2412 di Tahun 1984 dimana Ernawati Yohanis saat itu masih berumur sekitar 12 atau 13 tahun. Halnya dengan tuduhan menggunakan sertifikat palsu padahal hingga saat ini Sertifikat 2412 tidak pernah dinyatakan palsu oleh putusan pengadilan. Sertifikat Hak Milik sebagai bukti kepemilikan tanah menurut hukum Indonesia berada di hierarki tertinggi sehingga selama tidak terbukti sebaliknya sertifikat harus dipandang sebagai asli atau otentik", lanjutnya.
Sebaliknya, kata Rusli, justru yang wajib dipertanyakan adalah proses penerbitan tiga (3) Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT Phinisi Inti Property yang diterbitkan BPN pada Tahun 2013 dan 2014 di atas Sertifikat SHM Tahun 1984 milik Kliennya.
"Atas pertimbangan tersebut di atas kami selaku Penasihat Hukum tersangka memohon kepada Bapak Kapolri berkenan meminta kepada pejabat kepolisian terkait kembali melakukan telaah atau evaluasi terhadap keputusan penetapan tersangka terhadap Klien kami dengan mempertimbangkan faktor keadilan dan kemanusiaan", tutup Muhammad Rusli. (*)